Masih ingat kasus Nenek Minah, Kakek Samirin, atau pelaku yang mencuri kotak amal beberapa tahun lalu? Kasus-kasus ini sangat viral dan menjadi perhatian semua khalayak.
Pada 2009 sebuah persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, memvonis Nenek Minah dengan putusan hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Nenek Minah diadukan oleh perusahaan perkebunan kakao karena mencuri tiga buah kakao milik perusahaan.
Dengan kasus yang hampir mirip, pada 2019, Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara, memvonis Kakek Samirin penjara 2 bulan 4 hari. Kakek Samirin diajukan ke pengadilan atas perkara pencurian getah karet seberat 1,9 kilogram yang bila rupiahkan waktu itu sebesar Rp17.480.
Kasus-kasus yang melibatkan masyarakat kecil ini turut mengiris nurani dan menyentuh rasa keadilan kita semua. Tak pelak, banyak warga yang justru meneteskan air mata kala pelaku diadili. Meskipun pelaku secara hukum melanggar aturan namun khalayak menilai seharusnya tidak diadili sampai ke persidangan di pengadilan. Itulah dua dari begitu banyak persidangan yang memprihatinkan dan mengusik rasa keadilan masyarakat.
Realita yang terjadi di masyarakat ini mendorong aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung untuk membuat terobosan baru bagaimana hukum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan dipimpin Prof. Dr. ST. Burhanuddin, Kejaksaan Agung melakukan terobosan hukum yakni dengan mengeluarkan Peraturan Jaksa No. 15 Tahun 2020 mengenai Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau dikenal Restorative Justice (RJ).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI Ketut Sumedana menjelaskan, Perja (Peraturan Kejaksaan) ini muncul setelah banyak kasus tuntutan hukum yang diajukan ke kejaksaan yang sebenarnya tidak layak sampai ke sidang pengadilan. “Sebelum Perja Restorative Justice ini muncul, banyak perkara-perkara seperti Nenek Minah, Kakek Samirin, dan lainnya, yang menyentuh rasa keadilan yang seharusnya tidak diadili sampai ke persidangan di pengadilan, Perja No. 15 tahun 2020 hadir karena terjadinya miss link atau kekosongan dalam hukum,” ucapnya kepada MNC Media, Kamis (29/9/2022).
Menurut Kapuspenkum, sebelum lahirnya Perja No. 15 Tahun 2020 tidak pernah melibatkan korban dalam penanganan sebuah perkara pidana. “Dulu tidak ada yang memikirkan hak-hak korban, misalnya kehilangan kambing atau kerbau, ya udah selesai. Pelakunya yang penting diberi efek jera sebagai pembalasan. Nah itu sesuai dengan Retributive Justice. Pemberlakuan hukuman seperti itu sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Restorative Justice.”
Adapun beberapa persyaratan suatu perkara pidana dapat diselesaikan secara Restorative Justice yakni antara lain pertama, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, kejahatan tidak mendistorsi masyarakat, tidak membuat suatu efek meluas pada masyarakat. Keempat, ada alasan pemaafan dari korban. Kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000 (Dua juta lima ratus ribu rupiah). Tentunya, pemberian maaf itu selalu harus diikuti pemberian ganti rugi atau rehabilitasi tapi adanya pemaafan itu yang paling penting.
Hal yang harus diingat, tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan menggunakan Restorative Justice antara lain seperti kasus pembunuhan, walaupun baru rencana. Kemudian kasus pelecehan seksual, terorisme, dan korupsi. Restorative Justice diberlakukan bagi kasus-kasus yang tidak menimbulkan efek domino kepada masyarakat. Misalnya sebatas pencurian kecil, kejahatan yang sifatnya mengganggu keamanan negara juga tidak bisa diselesaikan melalui Restorative Justice.
“Restorative Justice pada prinsipnya merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi,” ujar Ketut.
Menurutnya, Perja Nomor 15 Tahun 2020 dari sisi kepastian hukum memang tidak ada. Tetapi dari sisi kemanusiaan, kemanfaatan hukum dan keadilan Perja ini sangat cocok. “Dengan adanya penghentian di penuntutan akan menjamin kemanfaatan hukum jadi lebih cepat, lebih tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Itu sebenarnya dasar-dasar pemikiran lahirnya Perja Justice Restorative,” ujarnya.
Sebagai contoh, berkat berlakunya Perja No.15 Tahun 2020 ini, kasus pencurian sapi yang dilakukan seorang anak terhadap ibunya di wilayah Asembagus, Situbondo, Jawa Timur dihentikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melalui pendekatan Restorative Justice atau keadilan restoratif. Tentunya korban Ibu Miswana, sebagai ibu tersangka, memaafkan perbuatan anaknya. Keputusan ini turut melegakan masyarakat.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Takalar juga menerapkan Restorative Justice terhadap kasus seorang pria yang mencuri motor untuk biaya persalinan istrinya. Akhirnya melalui peraturan Kejaksaan Agung permasalahan ini selesai tanpa pelaku harus meringkuk di balik jeruji.
Itulah beberapa contoh dari ribuan kasus yang penyelesaian perkara di luar pengadilan atau melalui Restorative Justice. Selama dua tahun penerapan Restorative Justice, kata Kapuspenkum, Kejaksaan Agung sudah menyelesaikan lebih dari 1.700 lebih perkara di seluruh Indonesia. “Dan hampir setiap hari, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) ini melakukan ekspose perkara melalui Restorative Justice, itu sudah semua dari seluruh kalangan masyarakat,” tuturnya.
Penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan humanisme Restorative Justice ini dinilai menjawab kebutuhan hukum masyarakat. Dalam sebuah kesempatan, Jaksa Agung Prof. Dr. ST. Burhanuddin menyampaikan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, norma dasar negara atau staats fundamental norm adalah Pancasila. Pancasila merupakan cerminan dari jiwa bangsa yang mengandung nilai-nilai moral, kekeluargaan, keseimbangan, musyawarah, dan keadilan sosial.
“Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif Restorative Justice diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia, living law sebagai refleksi atas budaya hukum, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Carl Von Savigny, seorang filsuf Mazhab Sejarah, berpendapat bahwa ‘hukum didasarkan pada karakter dan jiwa kebangsaan bangsa yang bersangkutan,” ujarnya.
Jaksa Agung RI ini juga mengatakan Negara Indonesia adalah negara hukum yang telah menempatkan supremasi hukum menjadi instrumen dalam menjalankan prinsip-prinsip bernegara. Roda pemerintah negara Indonesia telah tertuang dalam Rencana Jangka Panjang Menengah 2020-2024, yang mana salah satu cara mewujudkan supremasi hukum adalah dengan melaksanakan keadilan restoratif.
“Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global. Namun hal yang sekiranya perlu kita cermati bersama adalah menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum. Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum,” ujar Jaksa Agung yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019.
Kewenangan diskresi penuntutan akan melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku atau rechtmatigheid dengan asas kemanfaatan atau doelmatigheid yang hendak dicapai. Ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke Pengadilan, diharapkan akan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih dekat dan memberikan kemanfaatan kepada seluruh pihak.
”Kewenangan ini menempatkan Jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak untuk disidangkan atau tidak. Ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke Pengadilan, diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak,” ujar Jaksa Agung RI.
Terapkan Restorative Justice Hantarkan Jaksa Agung Raih Penghargaan Internasional
Terobosan hukum yang diinisiasi oleh Kejagung di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Prof. Dr. ST. Burhanuddin ini juga diganjar berbagai penghargaan baik internasional maupun di dalam negeri. Salah satunya penghargaan tertinggi dunia Special Achievement Award dari International Association of Prosecutors (IAP) pada akhir September tahun ini. Dengan kebijakan yang telah ditempuhnya ini, Jaksa Agung yang pernah menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Soedirman ini dijuluki sebagai Jaksa Agung yang humanis, pengawal rasa keadilan masyarakat. Bagi pria kelahiran Cirebon, 17 Juli 68 tahun lalu ini, hukum harus tajam ke atas dan humanis ke bawah, bukan hanya slogan tetapi harus benar-benar diterapkan dalam penegakan hukum.
Salah satu pertimbangan pemberian award menurut Han Moraal, Secretary General of IAP, adalah karena Prof. Dr. ST Burhanuddin dinilai telah mendemonstrasikan dedikasi khusus dalam mencapai tanggung jawab profesionalnya.
Jaksa Agung telah menginstruksikan melalui Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dengan membuka penyelesaian perkara di luar pengadilan, sehingga korban mendapatkan kesempatan untuk didengarkan dan pengembalian secara maksimal dari pelaku tindak pidana.
Pemberian penghargaan IAP terasa sangat membanggakan karena Special Achievement Award 2022 hanya diberikan kepada 2 (dua) dari 180 negara anggota IAP di dunia yaitu Indonesia dan Inggris.
Penghargaan juga datang dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Lembaga Urusan Narkoba dan Kejahatan PBB ini memberikan apresiasi karena pelaksanaan Restorative Justice RJ di Indonesia jauh lebih efektif daripada di negara lain.
UNODC Indonesia Country Manager and Liaison to ASEAN Collie F. Brown ungkap Ketut mendatangi secara langsung Jampidum dan memberikan apresiasi penerapan di Indonesia.
Ketut memaparkan, sejumlah alasan menjadi pertimbangan UNODC atas pemberian apresiasi tersebut. Pertama pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia lebih efektif dan efisien, kedua pelaksanaan lebih cepat, ketiga karena efisien dan dampak dari RJ ini mengurangi over capacity Lembaga Pemasyarakatan (LP). Selain itu ungkap Ketut Sumedana pelaksanaan Restorative Justice menjadikan anggaran penanganan perkara jadi jauh lebih ringan. Bahkan menurut kalkulasinya negara bisa menghemat hingga Rp2 triliun per tahun.
Restorative Justice sudah berjalan di beberapa negara Skandinavia, seperti Norwegia dan Belanda serta lainnya. Di negara-negara makmur di Eropa Barat itu, bahkan penjaranya kosong karena kasus pidana diselesaikan dengan Restorative Justice. Dari 37 lembaga kemasyarakatan di Belanda, tersisa 7 saja. Terakhir tinggal satu dan semuanya kosong.
Arti penting penghargaan ini juga dirasakan para Jaksa di seluruh Indonesia. Ketut Sumedana menegaskan penghargaan ini menjadi trigger, menjadi motivasi, menjadi inspirasi bagi insan jaksa dalam hal bekerja dan berkinerja lebih baik.
Mengingat jaksa bertanggung jawab atas kualitas penanganan suatu perkara, oleh karena itu arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan. Penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materiil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat.
Kini, Jaksa Agung masih terus berpacu agar Restorative Justice dapat diterapkan di seluruh kejaksaan Indonesia. Untuk mendukung kebijakannya itu, Jaksa Agung ST Burhanudin telah membentuk Rumah Restorative Justice di seluruh Indonesia yang memindahkan penanganan perkara ke lingkungan yang lebih kondusif untuk dilaksanakannya sistem keadilan restoratif.
Rumah Restorative Justice dapat dibentuk di desa dan kelurahan se-Indonesia. Berdasarkan data Rakenis, saat ini telah tercatat 1.031 rumah plus 57 Balai Rehab Restorative Justice. “Kita menargetkan 70.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia memiliki Rumah Restorative Justice , “ ucapnya.
Di Rumah Restorative Justice ini, perkara dapat diselesaikan tanpa melalui proses maka disebut sebagai pre justisia bukan pro justicia. “Jadi penyelesaian tersebut diselesaikan sendiri dengan masyarakat dengan pembinaan, dengan izin dari pada jaksa-jaksa yang ada di daerah, “ katanya.
Dalam proses penegakan hukum terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal, yang salah satunya adalah asas dominus litis yang menempatkan Jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara.
Artinya, sebagai pengendali perkara jaksa bertanggung jawab atas kualitas penanganan suatu perkara, oleh karena itu arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan. Penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materiil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat.
“Aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena disanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan atau prosecutorial discretion. Inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lain. Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan,” ujar Jaksa Agung.
Dengan Perja No.15 Tahun 2020 tentang penerapan Restorative Justice memberikan kewenangan ini menempatkan Jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak untuk disidangkan atau tidak. Ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke Pengadilan, diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.
Penerapan Restorative Justice bukan saja menjadi kebutuhan hukum dan sebagai bentuk ADR (Alternative Dispute Resolution) akan tetapi dalam penerapan penyelesaian perkara Non Penal mampu menggali nilai-nilai dasar hukum di dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana terkandung dalam nilai filosofi Pancasila yaitu Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan, Gotong royong (kebersamaan) dan Nilai Keadilan.
Kehadiran Rumah Restoratif di tengah-tengah masyarakat juga diharapkan sebagai dinamisator adaptasi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga kita tidak selalu tertinggal dari perkembangan hukum masyarakat.
Namun yang paling utama, Jaksa Agung menekankan bahwa kehadiran RJ dalam penyelesaian suatu permasalahan sebagai bentuk menghilangkan resistensi di masyarakat (upaya balas dendam), menghadirkan Penegakan hukum lebih dekat di tengah-tengah masyarakat serta membangun kesadaran hukum masyarakat, ketika masyarakat sudah sadar maka pelanggaran hukum akan menjadi minim bahkan tidak ada. Hal inilah menjadi cita hukum kita bersama.
#Team Koran SINDO.